Aku
sangat menyukai ucapan mama: "Barang milikku yang paling berharga adalah
kamu!" Ucapan yang sangat menyejukkan hati dan sampai sekarang aku
masih mengingatnya terus!
Papa
dan mama menikah karena dijodohkan orang tua, demikianlah yang dialami
para muda-mudi di jaman itu, tapi hal ini sudah umum. Di jaman sekarang
peristiwa itu sudah jarang terjadi, kebanyakan adalah hasil pilihan
sendiri. Tapi mama sangat mencintai papa, demikian juga dengan papa
dan mereka tampak selalu mesra, akur bagaikan sejoli yang tak terpisahkan.
Sangat sulit dibayangkan bahwa pernikahan mereka pernah diterjang
badai!
Badai
itu nyaris memisahkan mereka hanya karena emosi sesaat saja! Papa dan
mama bekerja diinstansi yang sama, oleh karena itu setiap hari berangkat
dan pulang bersama. Suatu hari mereka kerja lembur, mengadakan
stock opname di gudang, hingga pukul 2.00 dinihari dan baru pulang
kerumah.
Papa
sangat letih dan lapar, sampai di rumah tidak ada makanan maupun minuman
yang siap disaji. Papa yang lapar minta mama untuk menyiapkan makanan
dan minuman. Beberapa hari belakangan ini emosi mama memang tidak
stabil, ditambah lagi dengan adanya lembur, badan dan pikiran sungguh
melelahkan, sehigga denagn kondisi yang labil itu, mama spontan menjawab
dengan nada keras, "Mau makan dan minum, memangnya tidak bisa
masak sendiri? Apa tidak punya tangan dan kaki lagi, ya?"
Karena
papa juga terlalu capek, langsung menjawab dengan acuh tak acuh,
"Kamu
ini isteriku, memasak adalah sudah menjadi kewajibanmu!" Mama langsung
merespon, "Tengah malam begini mau masak apa? Sudah lewat waktunya
makan, orang laki seharusnya lebih kuat dari pada perempuan!"
Mendengar
itu, marahlah papa, beliau langsung berteriak dengan emosi,
"Kamu
salah makan obat apa kemarin? Mau sengaja cari ribut ya? Istri memasak
untuk suami adalah wajar, kenapa harus tergantung pada waktu? Kamu
tidak senang, ya? Kalau tidak senang, kamu pergi saja sekarang dari rumah
ini!!!"
Mama
tidak menyangka akan menerima reaksi yang begitu keras. Setelah terdiam
sesaat, mama kemudian berkata sambil menitikkan air mata,
"kamu
ingin aku pergi, baik aku akan pergi sekarang!" Mama segera kembali ke
kamar untuk mengemasi barang-barangnya. Melihat mama masuk kamar dan
berkemas-kemas, papa berkata kepada mama yang membelakanginya,
"Bagus!
Pergi sana! Ambil semua barang-barangmu mu dan jangan kembali lagi!"
Beberapa
saat kemudian suasana menjadi sunyi senyap, tak ada kata-kata kebencian
lagi yang muncul, menit demi menit berlalu, tapi mama tetap tak kunjung
keluar dari kamar. Merasakan keanehan itu, papa kemudian menyusul
masuk kamar dan melihat mama sedang duduk diranjang penuh dengan
linangan air mata. Sambil menatap koper kulit besar yang masih tergeletak
di atas ranjang, melihat papa datang, dengan terisak-isak mama berkata,
"duduklah di atas koper kulit itu, supaya aku boleh mengenang masa-masa
perpisahan kita yang terakhir."
Merasa
aneh, maka dengan sendu papa akhirnya tidak tahan juga untuk tidak
bertanya, " "Untuk apa?" Sambil menangis denagn terputus-putus mama
berkata, "Emas dan perak aku tidak memilikinya, "Tapi milikku yang paling
berharga adalah kamu!" Kamu dan anak-anakku, aku tidak memiliki apapun...."
Meskipun
kejadian itu telah lewat lama sekali, tapi aku masih mengingatnya terus
sampai sekarang. Apalagi ketika mama mengucapkan kata-kata terakhir
itu, papa merasa sangat tergoncang. Sejak malam itu, papapun sadar
dan kembali menghormati dan menyayangi mama. Menggandeng tangan
anak-anak, merangkul mama serta saling berpelukan. Kelak aku juga bercita-cita
ingin mendapatkan pasangan seperti papa.
Bagaimanapun
kehidupan yang kita jalani dan kita hadapi tidaklah penting. Namun
yang terpenting adalah bagaimana sikap kita dalam menghadapi peristiwa
dan kejadian dalam hidup ini, terutama di saat-saat muncul 'badai'
yang menguji kita.
No comments:
Post a Comment